Konflik Laut China Selatan (LCS) atau menurut pelaut Eropa serta dunia internasional menyebut laut tersebut sebagai South China Sea merupakan dinamika panjang dalam sejarah salah satu teritori peradaban di Asia Pasifik. Laut yang seluas 3,5 juta kilometer persegi ini membentang dari selat karimata dan selat malaka hingga ke Taiwan. Mulai dari zaman kerajaan-kerajaan hingga abad modern saat ini gejolak di LCS bak benang kusut dengan jutaan kepentingan seakan tak kunjung usai dari masa ke masa.
Menurut Biro Hidrografis Internasional (the International Hydrographic Bureau) Laut China Selatan didefinisikan sebagai perairan yang memanjang dari barat daya ke arah timur laut, berbatasan di sebelah selatan dengan 3 derajat lintang selatan antara Sumatra dan Kalimantan, di sebelah utara dibatasi oleh Selat Taiwan dari ujung utara Taiwan kearah pantai Fukien, China. Luas perairan meliputi sekitar 4.000.000 kilometer persegi[1].
LCS berbatasan langsung antara negara-negara di Asia Pasifik utamanya antar negara-negara di ASEAN dan China/Tiongkok serta juga ikut mempengaruhi dinamika di Jepang, Korea Selatan, dan Korea Utara. Wilayah ini memiliki terdapat sumber daya alam yang melimpah serta jalur penghubung perdagangan besar yang memiliki potensi ekonomi luar biasa. Nilai perdagangan di LCS diperkirakan lebih dari 5 triliun dolar AS per tahun, dan cadangan minyak bumi yang tersimpan sebesar 11 miliar barel serta gas alam mencapai 190 triliun kaki kubik. Hal ini sangat menarik berbagai pihak untuk berusaha menguasai baik dimulai dari alasan geofrafis negara hingga hubungan panjang sejarah masa lalu.
Indonesia sendiri tidak masuk secara langsung pada sengkata permasalahan di LCS, namun kedekatan memiliki wilayah yang dekat pada tertori tersebut yaitu kepulauanan Natuna dan Laut Natuna. Selain itu dampak keterkaitan dengan LCS adalah pada jalur perdaganggannya dimana Indonesia juga memiliki kepentingan ekonomi sehingga menjadi salah satu negara yang membutuhkan suasana aman dan bebas konflik pada wilayah tersebut.
Klaim China melalui “Sembilan Garis Putus-putus” (Nine Dash Line /NDL) yang mencakup sebagian besar wilayah Laut China Selatan, termasuk wilayah yang tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, menyebabkan kedaulatan Indonesia di Perairan Natuna terancam[2]. NDL juga sangat meresahkan bagi Indonesia, dimana potensi ekonomi yang ada di dekat perairan Laut Natuna jadi terancam terancam. Inilah hal-hal yang harus menjadi perhatian negara, dan bentuk dari ekonomi pertahanan. Indonesia mambutukan LCS damai, Indonesia membutuhkan LCS aman, dan yang pasti Indoneisa membutuhkan stabilitas di kawasan LCS. Laut Natuna yang ikut terkena klaim China NDL berdampak pada kedaulatan, Natuna bukan sekadar wilayah kecil dalam peta geopolitik, namun representasi nyata dari kedaulatan Indonesia.
Karena pentingnya LCS makin banyak negara-negara untuk ikut terlibat dalam sengkarut LCS dapat dilihat saat ini dengan masuknya Amerika kedalam pusaran konflik semakin memperkeruh carut marut persoalan di LCS. Amerika punya kepentingan besar menjaga negara-negara sekutunya, selain itu menariknya potensi ekonomi di LCS sangat menggugah untuk ikut menikmati mulai kekayaan alam hingga jalur perdagangan padat dan besar dengan nilai puluhan juta dolar. Jika ditinjau dari sisi geografis, Amerika harusnya tidak ikut terlibat dalam sengkarut LCS, namun ada kepentingan yang lebih besar yang menarik Amerika dalam pusaran ini.
Potensi LCS tidak bisa dipandang sebelah mata, maka dari itu perlu dikelola dengan baik, dan pengelolaan tersebut tidak bisa dilakukan sendiri. Perlunya kerjasama antar negara dan bangsa untuk dapat menjaga stabilitas kawasan tersebut. Jika tidak terjadi stabilitas di LCS maka dampak ekonominya akan luas dan besar. Bukan hanya soal harga diri bangsa dan kedaulatan akan tetapi akan melebar jauh yang jelas mempengaruhi ekonomi negara-negara yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Keseimbangan ekonomi juga akan berdapak pada keseimbangan pangan, karena saling ketergantungan antar negara sangat tinggi sehinga semua pihak harus sadar dan menahan diri agar krisis yang lebih besar tidak terjadi. Inilah yang disebut Ekonomi Pertahanan, pentingnya strategi menjaga stabilitas ekonomi agar dampak krisis yang lebih besar dapat terhindarkan.
Sebagai pihak yang secara langsung ikut terkena dampak konflik LCS, peran diplomasi aktif harus dilakukan dalam permasalahan LCS, dampak besar jika ketegangan di LCS terus memanas pasti akan berdampak buruk untuk Indonesia. Walaupun tidak mudah posisi Indonesia dapat dijadikan daya tawar penting dalam mereda konflik di sana. Komunkasi intensif harus dikedepankan agar tidak sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan semisal sampai meletusnya perang fisik, maka dari itu perlu kehati-hatian serta strategi khusus dalam menjaga stabilitas di LCS. Saatnya indonesia kemabali menjadi negara yang mampu mengambil peran strategis dalam pergaulan Internasional.
Kuncoroadi Prasetyadji. SE,. M.Han.
Sekretasis Jendral Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia
Alumni Universitas Pertahanan Indonesia, Ch.X, Prodi Ekonomi Pertahanan.
[1] Asnani, Usman & Rizal Sukma. Konflik Laut China Selatan : Tantangan Bagi ASEAN. Jakarta: CSIS, 1997
[2] https://aware.id/articles/geopolitic/mengurai-konflik-laut-china-selatan-tantangan-kedaulatan-indonesia-dan-dinamika-regional